Langit yang Menangis Darah
Kabut pegunungan Wuyi menyelimuti Puncak Pedang seperti kain kafan. Udara dingin menggigit kulit, menusuk hingga tulang. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Li Wei, pendekar pedang termuda yang dijanjikan, jatuh ke jurang maut. Semua meratapinya, mengutuk dewa atas ketidakadilan ini.
Namun, malam ini, di lorong istana yang sunyi, sosok itu berdiri. Bukan hantu, bukan pula ilusi. Li Wei kembali.
Lorong itu bercahaya remang-remang oleh lentera merah yang berayun pelan, menari mengikuti hembusan angin. Di ujung lorong, Kaisar duduk di singgasananya, tampak lebih tua dan ringkih dari ingatan Li Wei. Wajahnya pucat, matanya sayu.
"Li Wei?" Suara Kaisar bergetar, nyaris tak terdengar. "Kau...kau masih hidup?"
Li Wei membungkuk hormat, tapi matanya setajam belati. "Yang Mulia terlalu cepat mengumumkan kematian saya. Mungkin... Yang Mulia memang menginginkannya?"
Dialog mereka bagai tarian pedang yang halus namun mematikan. Setiap kata adalah tusukan, setiap jeda adalah ancaman.
"Apa maksudmu, Li Wei? Kau tahu betapa aku berduka..." Kaisar terbatuk, memegangi dadanya.
"Duka? Atau ketakutan, Yang Mulia? Ketakutan bahwa rahasia Puncak Pedang akan terbongkar? Bahwa darah yang tumpah selama sepuluh tahun ini akan menuntut balas?" Li Wei mendekat, langkahnya tenang namun mantap.
Kaisar menelan ludah. "Aku tidak mengerti..."
"Oh, saya yakin Yang Mulia mengerti semuanya. Tentang ramuan abadi yang Yang Mulia dambakan, tentang pengorbanan yang harus dibayar, tentang... keluarga saya." Suara Li Wei melunak, tapi ancamannya terasa lebih mengerikan.
Li Wei mengangkat tangannya. Cahaya lentera menari di atas bilah pedang yang berkilauan. "Dulu, saya hanyalah seorang anak yang bercita-cita menjadi pahlawan. Sekarang... saya adalah hakim."
Kaisar tersenyum pahit. "Kau selalu terlalu naif, Li Wei. Apakah kau benar-benar berpikir bahwa keadilan itu ada? Bahwa kebenaran akan membebaskanmu?"
"Saya tidak mencari kebebasan. Saya mencari keseimbangan." Li Wei mengayunkan pedangnya. Cahaya bulan menyinari bilahnya, membuatnya tampak seperti air mata perak.
Detik berikutnya, istana dilanda keheningan. Kaisar tergeletak di singgasananya, matanya menatap langit-langit. Li Wei berdiri di atasnya, pedang di tangannya meneteskan darah.
Kemudian, dengan tenang, Li Wei berbalik dan berjalan pergi. Meninggalkan istana, meninggalkan masa lalunya, meninggalkan pertanyaan yang tak terucapkan.
Saat fajar menyingsing, kabut di Puncak Pedang berangsur menghilang. Di bawahnya, terlihat bekas pertarungan yang mengerikan. Kaisar telah tiada, dan Li Wei telah pergi.
Namun, satu pertanyaan tetap menggantung di udara, seperti aroma dupa yang tertinggal setelah upacara kematian: Apakah Li Wei benar-benar mencari keadilan? Atau dia hanyalah pion dalam permainan yang jauh lebih besar?
Beberapa dekade kemudian, seorang wanita tua duduk di teras istana yang telah dibangun kembali. Dia menatap lembah di bawahnya, matanya dipenuhi kebijaksanaan dan kesedihan. Seorang pelayan datang, membawakan teh hangat.
"Permaisuri, ada surat untuk Anda."
Wanita itu mengambil surat itu, membukanya, dan membacanya dengan seksama. Matanya membelalak. Bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis, dingin dan tanpa ampun.
"Jadi... akhirnya dia mengungkapkan dirinya. Sungguh ironis. Selama ini... aku yang menarik semua benang."
Permaisuri tertawa pelan, suaranya bagai gemerisik daun kering di musim gugur.
"Korban yang kalian ratapi selama ini... adalah dalang dari semua ini."
You Might Also Like: 197 12 Best Places To Visit In
Post a Comment