Senyum yang Menggigil di Bawah Hujan Darah
Hujan menggigil menusuk tulang malam itu. Gerimis berubah menjadi derai air mata langit, serupa dengan pedih yang menggerogoti hati Mei. Di gubuk reyot di tepi Hutan Bambu yang dulu sering menjadi saksi bisu janji-janji mereka, Mei menatap api lentera yang NYARIS padam. Cahayanya menari-nari, memproyeksikan bayangan patah di dinding bambu – bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.
Delapan tahun berlalu sejak malam pengkhianatan itu. Delapan tahun sejak Li Wei, cintanya, belahan jiwanya, menikamnya dari belakang. Li Wei, yang kini menjadi panglima perang paling disegani di kerajaan, hadir di hadapannya. Sosoknya gagah dalam balutan zirah emas, berkilauan diterpa kilat. Namun, Mei hanya melihat pengkhianat di balik wajah tampan itu.
"Mei," bisik Li Wei, suaranya serak tertahan. "Aku..."
"Pergi," potong Mei, suaranya dingin seperti es. Hujan semakin deras, mengguyur gubuk seolah alam ikut merasakan perih hatinya. "Kau tak punya hak untuk menyebut namaku lagi."
Li Wei terdiam. Wajahnya yang biasanya angkuh kini terpancar kesedihan. Mei tahu, jauh di lubuk hatinya, Li Wei masih menyimpan penyesalan. Tapi penyesalan itu tak akan pernah cukup untuk menebus lukanya.
Setiap malam, Mei melatih pedangnya di bawah rembulan. Setiap ayunan pedang adalah ungkapan kemarahan, kekecewaan, dan dendam yang membara. Ia belajar menyembunyikan amarah di balik senyum manis, senyum yang kini menjadi pedang paling mematikan di tengah malam. Senyum yang ia hadiahkan pada semua orang, termasuk Li Wei, yang setiap kali melihatnya, hanya bisa tertegun, bingung, dan merasa bersalah.
"Aku... aku melakukan semua ini untukmu, Mei," lirih Li Wei suatu malam, saat mereka bertemu di tengah hutan. Hujan kembali turun, membasahi wajahnya yang pucat.
Mei tertawa. Tawa hambar yang membuat bulu kuduk Li Wei meremang. "Untukku? Kau mengkhianatiku, Li Wei. Kau memilih kekuasaan daripada aku."
"Aku punya alasan!" seru Li Wei, putus asa.
Mei mendekat, menatap tajam mata Li Wei. Cahaya lentera menyorot wajahnya, menampakkan senyum manis yang MEMATIKAN. "Alasan apa pun tak akan pernah membenarkan pengkhianatanmu. Kau pikir aku menderita selama ini? Kau salah besar. Justru kau yang akan menderita, Li Wei. Kau akan merasakan setiap tetes air mata yang pernah kutumpahkan. Kau akan membayar semua ini."
Li Wei mundur, ketakutan terpancar jelas di matanya. Mei menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya, bukan karena sedih, tapi karena KEPUASAN melihat Li Wei ketakutan.
"Aku tahu kau bertanya-tanya, mengapa aku tidak membunuhmu saat ada kesempatan..." bisik Mei, senyumnya semakin lebar. "...Karena kau adalah bidakku, Li Wei. Bidak dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang kau bayangkan."
Saat Li Wei menatap Mei dengan tatapan penuh pertanyaan dan rasa bersalah, Mei menatapnya dengan tatapan dingin yang menusuk, seraya melontarkan sebuah pertanyaan retoris yang selama ini menjadi misteri dalam hidup Li Wei, "Tidakkah kau penasaran, mengapa ibumu tiba-tiba meninggal tepat setelah malam pengkhianatan itu?"
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Dengan
Post a Comment