Kau Mencintai Apa Adanya, Dan Aku Benci Karena Tak Bisa Sebaik Itu
Hujan gerimis menari di jendela penthouse-ku, memantulkan cahaya kota yang remang-remang. Di balik tirai sutra krem, aku berdiri, menyesap teh oolong yang perlahan mendingin. Di tanganku, sebuah foto: aku, dengan senyum yang nyaris sempurna, dan dia, Ling, dengan tatapan teduhnya yang selalu membuatku merasa aman.
Ling.
Dia mencintai aku apa adanya. Dengan segala ambisiku yang membara, kecemburuanku yang tersembunyi, dan ketidaksempurnaanku yang aku sembunyikan di balik gaun haute couture dan perhiasan berlian. Dia melihat kebaikan yang bahkan aku sendiri ragu ada.
Dan aku? Aku membencinya. Bukan karena dia tidak cukup, tapi karena dia terlalu cukup. Terlalu sabar, terlalu pemaaf, terlalu sempurna untuk seseorang sepertiku. Aku iri. Aku membenci betapa mudahnya dia mencintai, betapa tulusnya senyumnya, betapa hangatnya pelukannya.
Senyum itu. Senyum itu menipu.
Pelukan itu. Pelukan itu beracun.
Janji itu. Janji itu berubah jadi belati.
Aku menemukannya. Dia, dengan wanita lain. Di hotel yang aku bangun dengan susah payah. Di ranjang yang aku bayar dengan tetesan keringatku.
Reaksiku? Anehnya, tenang. Bahkan terlalu tenang. Aku tidak berteriak, tidak menangis, tidak mengamuk. Aku hanya tersenyum tipis, mengucapkan selamat tinggal, dan pergi.
Aku membiarkannya. Aku membiarkannya menikahi wanita itu. Aku membiarkannya membangun keluarga yang dia impikan. Aku membiarkannya bahagia.
Sementara itu, aku fokus pada karierku. Aku membangun kerajaan bisnisku semakin tinggi, semakin megah. Aku berinvestasi di perusahaannya, membantunya berkembang. Aku menjadi dermawan yang murah hati, menyumbang jutaan dolar untuk amal yang dia dukung.
Aku memastikan, perlahan tapi pasti, bahwa setiap kesuksesannya, setiap sen keuntungannya, setiap momen kebahagiaannya, terhubung denganku.
Lima tahun kemudian, perusahaannya bangkrut. Skandal besar menghantamnya. Reputasinya hancur berkeping-keping. Dia kehilangan segalanya.
Aku menontonnya dari jauh, di balik tirai penthouse-ku. Hujan masih menari, dan teh oolongku sudah dingin sepenuhnya. Aku menerima panggilannya. Suaranya bergetar, penuh penyesalan.
"Mengapa?" tanyanya lirih.
Aku tidak menjawab. Aku hanya mematikan telepon.
Balas dendamku bukan tentang darah, bukan tentang air mata. Balas dendamku adalah membuatnya sadar, setiap hari sisa hidupnya, bahwa aku adalah orang yang menghancurkannya. Bahwa kebahagiaannya selama ini dibangun di atas pasir yang aku kendalikan. Bahwa dia akan selalu mengingatku, bukan dengan cinta, tapi dengan penyesalan abadi.
Aku menyesap teh dinginku, merasakan pahitnya menjalar di lidahku. Kemenangan ini terasa hampa.
Di balik keheningan malam, aku bertanya pada diriku sendiri: Apakah aku benar-benar bahagia? Apakah harga yang aku bayar sepadan dengan kepuasanku yang sesaat?
Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama, bukan?
You Might Also Like: Codigo Postal Barrio Centro De Cucuta
Post a Comment