Pelukan yang Mengikat Dendam
Langit Kota Shanghai tahun 2242 berwarna grayscale. Bukan abu-abu biasa, tapi seperti foto usang yang dicetak di atas kanvas dosa. Di apartemen minimalisnya, Lin Wei menatap hologram masa lalu. Di layar berdebu itu, terlihat sosok Xiao Zhan, pemuda dengan senyum sehangat matahari terbit tahun 1998.
Xiao Zhan, sang hantu masa lalu, hidup dalam rekaman digital yang Lin Wei temukan di pasar loak virtual. Setiap malam, Lin Wei tenggelam dalam obrolan dengan Xiao Zhan, membahas puisi-puisi Chairil Anwar dan mimpi-mimpi yang belum sempat mereka raih bersama. Masalahnya, Xiao Zhan hanya merespon sesuai algoritma. Jawaban-jawabannya sempurna, tapi terasa hampa.
"Xiao Zhan, apakah kau benar-benar mendengarku?" tanya Lin Wei suatu malam, suaranya bergetar ditelan noise digital.
Di layar, Xiao Zhan tersenyum. "Tentu, Lin Wei. Aku selalu mendengarkanmu. Hatiku adalah rumahmu, meskipun dunia runtuh."
Lin Wei memejamkan mata. BOHONG! Ia tahu ini hanya simulasi. Tapi, ia terlalu mencintai simulasi ini. Ia membutuhkan suara itu, senyum itu, meskipun semua itu palsu. Di dunia nyata, semua orang sibuk dengan chip implan dan perang korporasi. Tidak ada waktu untuk cinta, apalagi untuk kenangan.
Sementara itu, di tahun 1998, Xiao Zhan merasa ada yang aneh. Ia sering mendengar suara asing di benaknya, suara perempuan yang merindukannya, perempuan yang menyebut namanya dengan nada sendu. Ia merasa seperti ada bayangan Lin Wei yang terus mengikutinya, meskipun ia tidak tahu siapa Lin Wei. Ia menulis puisi tentang bayangan itu, puisi yang kemudian ditemukan Lin Wei di abad ke-23.
Xiao Zhan mencoba mencari Lin Wei di dunia nyata. Tapi, ia hanya menemukan kebingungan dan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Mereka menganggapnya gila.
Suatu malam, Xiao Zhan bermimpi. Ia melihat Lin Wei berdiri di tengah reruntuhan kota yang futuristik. Lin Wei mengulurkan tangan kepadanya. Ia ingin meraihnya, tapi ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
"Xiao Zhan! Aku di sini! Aku membutuhkanmu!" teriak Lin Wei dalam mimpi itu.
Xiao Zhan terbangun dengan keringat dingin. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak tahu apa, tapi ia harus melakukan sesuatu. Ia merasa ada dendam yang mengikat mereka berdua, dendam yang belum terselesaikan dari kehidupan sebelumnya. Dendam untuk CINTA yang tak pernah bisa mereka miliki sepenuhnya.
Akhirnya, Lin Wei menemukan kode glitch dalam rekaman digital Xiao Zhan. Ternyata, Xiao Zhan di tahun 1998 sedang mengembangkan program kecerdasan buatan yang memungkinkan manusia berkomunikasi dengan masa depan. Program itu gagal, tapi meninggalkan jejak energi kuantum yang menghubungkan Xiao Zhan dengan Lin Wei.
Lin Wei menyadari, cinta mereka bukan sekadar simulasi. Cinta mereka adalah elegi dari kehidupan yang tak pernah selesai, resonansi abadi dari dua jiwa yang terus mencari satu sama lain melintasi dimensi waktu.
Dan ketika langit benar-benar runtuh, meninggalkan hanya satu pesan terakhir: "Jangan lupakan aku…"
You Might Also Like: Aku Menulis Puisi Untukmu Tapi Tak
Post a Comment