Pedang yang Memilih Akhirnya Sendiri
Kabut menggantung di puncak Gunung Cangwu, menyelimuti Pagoda Seribu Bayangan. Di sanalah, di tengah gemerisik bambu dan hembusan angin dingin, terjalin kisah yang akan merobek hati dan jiwa. Lin Mei dan Zhao Yun, dua anak yatim piatu, tumbuh besar bersama di kuil kecil di kaki gunung. Mereka bagaikan saudara kandung, berbagi mimpi dan sumpah setia di bawah rembulan perak.
Lin Mei, anggun bagai bunga plum di musim dingin, memiliki bakat alami dalam seni bela diri. Zhao Yun, tegap dan tabah bagai pohon pinus, dianugerahi kecerdasan yang tajam. Mereka berlatih bersama, tertawa bersama, dan berjanji untuk melindungi satu sama lain, selamanya.
"Yun'er," bisik Mei pada suatu malam, tatapannya serius, "janjilah padaku, tidak peduli apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama."
"Aku bersumpah, Mei'er," jawab Yun, menggenggam tangannya erat. "Selama aku bernafas, aku akan melindungimu."
Namun, takdir seringkali memiliki cara unik untuk menguji kesetiaan.
Bertahun-tahun kemudian, mereka menjadi murid terbaik di sekte terkemuka, Sekte Pedang Terbang. Mei, dengan kelincahan dan keanggunannya, dijuluki "Bayangan Bulan". Yun, dengan kekuatannya dan strategi briliannya, dikenal sebagai "Elang Emas". Bersama, mereka adalah kekuatan yang tak terhentikan.
Namun, di balik senyum dan tawa, tersembunyi rahasia gelap.
"Mei'er," desis Yun suatu malam, matanya berkilat aneh. "Kau tahu, bukan? Tentang Pedang Naga Hitam."
"Pedang terkutuk itu?" jawab Mei, suaranya dingin. "Pedang yang konon memilih pemiliknya sendiri, dan membawa kehancuran bagi siapa pun yang menyentuhnya?"
Yun mengangguk. "Ayah kita... ayah angkat kita, Guru Li, menyembunyikannya. Aku melihatnya. Dia berencana untuk menggunakan pedang itu untuk merebut kekuasaan."
"Dia akan mengkhianati Sekte?" tanya Mei, terkejut.
"Ya," jawab Yun, tatapannya mengeras. "Dan kita harus menghentikannya."
Dimulailah permainan kucing dan tikus. Yun dan Mei diam-diam mengumpulkan bukti pengkhianatan Guru Li. Namun, mereka tidak tahu bahwa Guru Li sendiri sudah mencurigai mereka.
Dialog-dialog di antara mereka kini bagaikan tarian pisau. Senyum manis menyembunyikan rencana licik, tatapan penuh kasih menyimpan keraguan yang mendalam.
"Yun'er, kau terlihat lelah," kata Guru Li suatu sore, menepuk pundak Yun. "Pastikan kau cukup istirahat. Sekte mengandalkanmu."
"Terima kasih atas perhatian Guru," jawab Yun, membungkuk hormat. "Aku akan melakukan yang terbaik." (Tapi dalam hatinya, Yun berteriak: Kau pikir aku bodoh?).
Misteri perlahan terkuak. Mei menemukan surat tersembunyi yang mengungkapkan bahwa Yun bukanlah yatim piatu. Dia adalah putra mahkota dari kerajaan yang telah lama hilang, yang digulingkan oleh Guru Li bertahun-tahun lalu. Guru Li membesarkannya dengan tujuan untuk memanfaatkannya, lalu membunuhnya dan merebut tahta.
PENGKHIANATAN TERBESAR adalah bahwa Yun tahu tentang hal ini sepanjang waktu! Dia berpura-pura tidak tahu, berpura-pura menjadi teman Mei, hanya untuk mendekati Guru Li dan membalas dendam.
Mei merasakan jantungnya hancur berkeping-keping. Seluruh hidupnya, cintanya, kesetiaannya... semuanya dusta.
"Yun'er," kata Mei, menghadapi Yun di Pagoda Seribu Bayangan di malam badai. "Kenapa kau berbohong padaku?"
"Mei'er..." Yun mencoba menjelaskan, tetapi Mei tidak mau mendengarkan.
Pertempuran pun dimulai. Dua sahabat, kini musuh bebuyutan, saling berhadapan dengan pedang di tangan. Gerakan mereka lincah dan mematikan, setiap tebasan membawa serta luka hati dan pengkhianatan.
Akhirnya, Mei berhasil melucuti Yun. Pedangnya tertuju tepat di jantungnya.
"Bunuh aku, Mei'er," desis Yun, matanya penuh kesedihan. "Itu yang pantas aku dapatkan."
Mei ragu-ragu. Dia tidak bisa membunuh Yun. Cintanya masih terlalu kuat. Tapi... dia juga tidak bisa memaafkannya.
Dengan air mata berlinang, Mei berbalik dan menusuk Guru Li, yang muncul dari balik bayangan. Guru Li tumbang, Pedang Naga Hitam terlepas dari tangannya.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Guru Li mengungkapkan kebenaran terakhir: Mei juga bukan yatim piatu. Dia adalah putri dari jenderal yang setia kepada kerajaan yang digulingkan, dan dia ditugaskan untuk melindungi Yun.
Mei terhuyung mundur, terkejut. Seluruh hidupnya, dia hanyalah alat untuk sebuah rencana yang lebih besar.
Yun meraih Pedang Naga Hitam, pandangannya kosong. Pedang itu bergetar, seolah hidup. Pedang itu MEMILIHNYA.
"Aku harus melakukannya," desis Yun, suaranya serak. "Aku harus mengakhiri semua ini."
Dengan satu tebasan, Yun mengakhiri hidupnya sendiri.
Mei berlutut di samping mayat Yun, hatinya hancur tak terperi. Dia meraih Pedang Naga Hitam, tetapi pedang itu menolaknya. Pedang itu hanya memilih Yun.
Dia mengangkat wajahnya ke langit, membiarkan air mata dan hujan membasahi wajahnya.
"Aku... aku tidak pernah menginginkan balas dendam..." gumamnya, sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
Semua ini... untuk apa...?
You Might Also Like: Jual Skincare Untuk Ibu Hamil Dan
Post a Comment